asta kosala kosali pintu rumah

25 Tatanan letak rumah menurut Asta Kosala Kosali. Asta Kosala Kosali adalah teknik penataan rumah atau bangunan suci di Bali. Penataan ini biasanya didasarkan oleh anatomi tubuh manusia. Biasanya yang melakukang pengukuran ini adalah para pemuka agama atau biasa disebut pemangku. Pengukuran didasarkan pada ukuran tubuh, tidak menggunakan meter. Padadasarnya Asta Kosala Kosali adalah konsep tata ruang tradisional Bali berdasarkan konsep keseimbangan kosmologis (Tri Hita Karana), hierarki tata nilai (Tri Angga), orientasi kosmologis (Sanga Mandala), ruang terbuka (natah), proporsional dengan skala, kronologis dan prosesi pembangunan, kejujuran struktur, dan kejujuran pemakaian material. Marikita fokus dan kembali ke topik. Dari sekian banyaknya daya tarik yang dimiliki oleh Bali ini, Rumah Adat Bali memiliki astakosala kosali merupakan fengshui-nya bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di bali yang sesuai dengan landasan filosofis, etis, dan ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan AstaKosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya. Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh yang mpunya rumah. mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti. * Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran 누누티비 다운로드 하는법. Rumah yang nyaman akan membuat penghuninya kerasan, lebih produktif, dan sehat. Namun, adakalanya rumah yang sudah dibangun dengan begitu mewah, megah, bahkan sudah memenuhi kriteria ruang yang sehat dan nyaman, malah tidak dapat membuat penghuninya merasa kerasan tinggal di dalamnya karena berbagai sebab, misalnya suasana ruangan yang terasa dingin, kosong, tidak akrab, dan sejenisnya. Hal ini rasa kenyamanan ruangan-ruangan dalam sebuah rumah tidak hanya terbangun berdasarkan wujud fisik arsitektural bangunan semata, tetapi aspek tanah yang menjadi tempat di mana bangunan rumah itu berdiri juga turut menentukan. Sehingga pemilihan tanah yang tepat ikut menjadi faktor penentu kualitas hunian rumah itu pada akhirnya. Banyak sekali kriteria bagaimana cara memilih tanah yang tepat. Masyakarat dunia barat memiliki kriteria bagaimana memilih tanah yang tepat untuk hunian mereka. Masyakarat dunia timur jauh juga memiliki patokan kriteria sendiri berdasarkan ilmu arsitektur kuno warisan nenek moyangnya, yaitu Ilmu Fengshui. Demikian pula di Indonesia, masyarakat Indonesia juga memiliki banyak kriteria pemilihan tanah yang tepat untuk mendirikan rumah berdasarkan kearifan lokal masing-masing. Dalam artikel kali ini saya memilih menulis tentang pemilihan tanah untuk membangun rumah berdasarkan Asta Kosala Kosali, yang merupakan kearifan lokal masyarakat Bali dalam mendirikan bangunan. Kriteria memilih tanah untuk bangunan rumah berdasarkan kearifan lokal suku-suku lainnya di Indonesia akan ditulis pada artikel lain. Asta kosala kosali merupakan pedoman petunjuk dalam budaya masyarakat Bali dalam mengatur atau menata lahan, baik untuk bangunan suci maupun bangunan rumah tinggal yang di dalamnya mengatur ukuran, simbol-simbol, desain, sampai tata ruang bangunan. Tanah yang Baik Dalam asta kosala kosali, ada lima kriteria tanah yang baik untuk hunian rumah tinggal, yaitu Menemu Labha, adalah tanah yang miring ke arah timur. Artinya, bagian tanah di sisi timur lebih rendah daripada bagian tanah di sisi barat. Tanah ini sangat ideal untuk dipergunakan sebagai tempat mendirikan bangunan karena sinar matahari dapat menyinari bangunan, vegetasi, dan makhluk hidup di atasnya sepanjang hari. Tanah jenis ini dalam kearifan lokal masyarakat Bali dipercaya membawa keberuntungan dan umur panjang. Manemu Labha Paribhoga Wredhi, adalah tanah yang miring ke utara. Artinya bagian tanah di sisi utara lebih tinggi daripada bagian tanah di sisi selatan. Tanah ini juga sangat ideal untuk bangunan tempat tinggal karena diyakini membawa pengaruh baik dan kemakmuran yang melimpah bagi penghuninya. Paribhoga Wredhi Karang Dewa Ngukuhin, adalah tanah atau pekarangan yang apabila dimasuki akan memberikan rasa asri, damai, tentram, dan tenang. Tanah ini cukup baik untuk digunakan mendirikan bangunan di atasnya karena diyakini membawa ketentraman dan ketenangan batin serta kedamaian. Karang Dewa Ngukuhin Karang Prekanti, adalah pekarangan yang apabila tanahnya dicangkul sedalam kira-kira 30 cm akan mengeluarkan bau pedas lalah1. Tanah ini juga baik untuk digunakan mendirikan bangunan karena diyakini mendatangkan kebahagian dan persahabatan. Pekarangan Datar, adalah pekarangan yang datar atau landai, dengan tempat di sekelilingnya tidak ada yang berbukit atau miring2. Tanah ini rata dengan jalan atau pusat kota3. Tanah ini juga relatif baik digunakan untuk membangun hunian, tetapi tidak sebaik dan seideal tanah nomor 1 – 3 di atas. Pekarangan Datar Tanah yang Tidak Baik Dalam asta kosala kosali, ada sembilan kriteria tanah yang tidak baik untuk hunian rumah tinggal, yaitu Karang Manyelengking, yaitu dua keluarga yang berbeda golongan bukan satu keluarga menjadi penghuni dalam satu lokasi tanah atau pekarangan dalam satu batasan pagar. Dalam kearifan lokal masyarakat Bali, diyakini hal ini akan mendatangkan marabahaya bagi penghuninya, misalnya penghuni rumah sering sakit. Karang Boros Wong, yaitu lahan atau pekarangan dengan dua buah pintu masuk atau keluar berukuran sama dalam posisi sejajar pada satu bidang sisi. Lahan seperti ini diyakini akan mendatangkan kesulitan ekonomi, kekurangan, dan rasa panas bagi penghuninya. Karang Suduk Angga, yaitu tanah yang terkena air hujan dari atap bangunan orang lain, terkena air limbahan bangunan orang lain, atau kemasukan akar tanaman dari tanah di sebelahnya tanah yang berbatasan. Diyakini bahwa tanah seperti ini akan menyebabkan kesehatan penghuninya terganggu. Karang Melekpek, yaitu tanah yang apabila dimasuki membawa hawa panas yang terus-menerus. Tanah seperti ini diyakini mendatangkan hawa pertikaian, ketidaktenangan, dan terganggunya kesehatan. Karang Ucem, lokasi tanah yang terlihat kusam, kotor, dan tidak bercahaya. Disebut pula dengan pekarangan yang hitam. Tanah seperti ini tidak baik untuk bangunan rumah. Karang Miring ke Barat, yaitu tanah atau pekarangan dengan bagian tanah di sisi timur lebih tinggi daripada bagian tanah di sisi barat. Tanah seperti ini diyakini dapat membuat kesehatan penghuninya terganggu. Karang Miring ke Selatan, yaitu tanah atau pekarangan dengan bagian tanah di sisi selatan lebih tinggi daripada bagian tanah di sisi utara. Tanah seperti ini tidak baik digunakan untuk mendirikan bangunan karena diyakini dapat menyebabkan penghuninya terus-menerus diserang desti reluh terang jana4. Karang Berbau, yaitu tanah atau pekarangan yang berbau tidak sedap, memiliki rasa manis dengan tanah berwarna hitam. Tanah seperti ini dianggap berbahaya sehingga tidak boleh digunakan untuk mendirikan bangunan tempat tinggal. Karang Bhaya, yaitu lokasi tanah atau pekarangan dimana pada lokasi tersebut yang sering dijumpai ceceran darah mentah tanpa sebab yang jelas. Tanah seperti ini dianggap sangat berbahaya sehingga sangat tidak disarankan untuk digunakan sebagai tempat membangun rumah. Tanah yang Cacat Dalam asta kosala kosali, ada sembilan kriteria tanah yang sebenarnya dapat digunakan untuk hunian rumah tinggal tetapi kondisinya masih kurang baik sehingga harus diperbaiki agar dapat difungsikan untuk hunian, yaitu Karang Sandang Lawe, yaitu lokasi tanah atau pekarangan yang pintu keluar masuknya berhadapan dengan pertigaan jalan, istilah lainnya adalah tanah atau pekarangan tusuk sate. Tanah seperti ini dianggap akan membuat kesehatan penghuninya terganggu sehingga untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan cara menggeser pintu keluar masuknya ke kiri atau kanan agar tidak berhadapan lurus dengan pertigaan jalan. Karang Sula Nyupi Karang Apit Yuyu, yaitu tanah atau pekarangan yang pada semua sisinya dikelilingi dilingkari oleh jalan umum, gang, atau sungai. Tanah seperti ini dalam kearifan lokal masyarakat Bali diyakini mendatangkan kesialan dan hawa panas. Cara mengatasinya kalau ingin mendirikan bangunan di tanah seperti ini adalah dengan membuat dua buah Pelinggih Padma Capah menghadap ke arah jalan dari pekarangan yang dilingkari5. Karang Kuta Kabanda Karang Apit Rurung, yaitu tanah atau pekarangan yang diapit oleh jalan pada kedua sisinya, baik itu samping kanan dan kiri tanah maupun di muka dan belakang tanah. Tanah seperti ini dalam kearifan lokal masyarakat Bali dianggap dapat membawa bencana. Cara mengatasinya agar dapat digunakan untuk membangun hunian adalah dengan membangun tempat usaha pada salah satu sisinya, dan pada sisi lainnya yang berbatasan dengan jalan digunakan sebagai lahan sisa. Antara lahan sisa dengan lahan pekarangan diberi batas berupa pagar tembok. Karang Teledu Nginyah, yaitu tanah atau pekarangan yang terletak di samping Karang Sandang Lawe kosong, atau berhadapan dengan pertigaan saluran air. Tanah seperti ini sangat baik digunakan sebagai rumah tinggal seorang dukun atau balian, tetapi tidak baik digunakan untuk membangun rumah tinggal bagi masyarakat biasa karena dianggap dapat mendatangkan gangguan kesehatan dan kesusahan hidup. Cara mengatasinya adalah dengan membangun sebuah tugu di pertigaan saluran air tersebut. Tugu ini dalam prinsip asta kosala kosali adalah sebagai sarana penangkal tolak bala. Karang Grah, yaitu tanah atau pekarangan yang lokasinya bersebelahan sebelah timur atau utara dengan Pura Kahyangan Tiga, Dang Kahyangan, dan Sad Kahyangan. Tanah seperti ini dianggap dapat mendatangkan bahaya, ketidaktentraman, dan hawa panas. Cara mengatasinya adalah dengan memberi jarak berupa jalan umum atau gang atau tanah seperti ini digunakan sebagai tempat usaha baik berupa bangunan usaha atau lahan usaha seperti perkebunan. Karang Negen Amada-mada Bharata, yaitu dua bidang tanah atau pekarangan dengan letak saling berhadapan dengan dibatasi jalan raya pada bagian tengahnya, yang dimiliki oleh satu keluarga. Tanah seperti ini dianggap dapat membawa gangguan kesehatan dan kesedihan. Cara mengatasinya adalah tidak membangun bangunan yang fungsinya sama, misalnya kedua-keduanya digunakan untuk membangun rumah tinggal. Sehingga kalau pekarangan yang satu sudah digunakan untuk membangun rumah tinggal, maka pekarangan satunya yang di sebarang jalan sebaiknya digunakan sebagai area usaha, apakah itu toko, kontrakan, atau perkebunan. Karang Tumbak Tembok, yaitu tanah atau pekarangan yang pintu keluar masuknya berhadapan dengan tembok pekarangan orang lain. Cara mengatasinya adalah dengan membuat lorong atau jalan keluar masuk yang tidak berhadapan dengan tembok pekarangan orang lain. Karang Naga Sesa Karang Apitan, yaitu tanah atau pekarangan yang letaknya diapit oleh pekarangan orang lain di kanan kirinya dimana dua pekarangan yang mengapit itu dimiliki oleh satu mengatasinya adalah dengan memberi jarak/gang kecil pada perbatasan tanah atau pekarangan. Karang Emet Karang Lebah Paraning Banyu, yaitu tanah atau pekarangan yang lebih rendah dari pekarangan lain sehingga dapat dibanjiri air. Cara mengatasinya adalah dengan membuat saluran drainase atau got pada batas pekarangan. Demikianlah sekelumit tulisan mengenai cara memilih tanah yang baik untuk bangunan rumah berdasarkan prinsip Asta Kosala Kosali. Catatan Kaki 1 lihat Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin. Arsitektur Rumah Tradisional Bali Berdasarkan Asta Kosala-kosali. Udayana University Press. 2008. hlm. 46 2 lihat Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin. Arsitektur Rumah Tradisional Bali Berdasarkan Asta Kosala-kosali. Udayana University Press. 2008. hlm. 45 3 lihat 4 lihat Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin. Arsitektur Rumah Tradisional Bali Berdasarkan Asta Kosala-kosali. Udayana University Press. 2008. hlm. 49 5 lihat Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin. Arsitektur Rumah Tradisional Bali Berdasarkan Asta Kosala-kosali. Udayana University Press. 2008. hlm. 53 Referensi Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin. Arsitektur Rumah Tradisional Bali Berdasarkan Asta Kosala-kosali. Udayana University Press. 2008. Asta Kosala Kosali, Fengshui Tata Ruang & Bangunan Bali Hits 13119 Related 2015-10-03 Leave a Reply - Bali merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang sangat beragam seni dan kebudayaannya. Salah satu buktinya tercermin dalam Rumah Adat Bali, yang memiliki jenis bermacam-macam lengkap dengan keunikan masing-masing. Rumah Adat Bali bukan hanya sekadar hunian tempat tinggal, tapi juga sarana pelaksanaan ibadah serta upacara adat. Selain itu, Rumah Adat Bali juga memiliki desain arsitektur khusus. Bangunannya memiliki struktur, fungsi dan ornamen yang digunakan turun-temurun. Dalam membangun rumah, masyarakat Bali juga mengenal pakem dalam konsep tata bangunan yang sejalan dengan keagamaan yang dikenal dengan Asta Kosala Kosali. Baca juga Rumah Adat Aceh Nama, Ciri Khas, Filosofi, dan Fungsi Tiap Bagiannya Bagian-bagian dan Fungsi dalam Rumah Adat Bali Rumah Adat Bali memiliki beberapa bagian. Masing-masing bagian rumah adat juga memiliki keunikan. Berikut beberapa bagian Rumah Adat Bali beserta fungsinya 1. Angkul-angkul Angkul-angkul merupakan bagian yang selalu ada di hampir semua Rumah Adat Bali. Fungsi Angkul-angkul sendiri sebagai pintu masuk utama untuk masuk ke dalam rumah. Angkul-angkul hampir mirip dengan gapura. Ia berupa dua bangunan sejajar yang dihubungkan dengan atap. 2. Aling-aling Aling-aling bisa diartikan sebagai pembatasan. Hal ini sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai pembatas antara angkul-angkul dengan alaman suci. Aling-aling dipercaya memiliki aura positfi, sehingga terdapat dinding pembatas yang disebut dengan istilah penyengker. Baca juga Ruma Gorga, Rumah Adat Batak yang Sarat Makna 3. Pura Keluarga Di setiap Rumah Adat Bali selalu dilengkapi dengan pura keluarga yang menjadi bangunan ketiga setelah angkul-angkul dan aling-aling. Pura keluarga fungsinya sebagai tempat berdoa dan beribadah seluruh anggota keluarga. Pura keluarga biasanya berada di sudut sebelah timur laut dari rumah hunian. Setelah ketiga bagian di atas, bagian berikutnya adalah ruangan utama rumah atau hunian utama. Dalam bangunan utama ini, biasanya terdapat beberapa ruangan yang memiliki fungsinya masing-masing. Berikut beberapa ruangan dalam Rumah Adat Bali beserta fungsinya - Bale Manten Ruangan ini dikhususkan untuk kepala keluarga atau anak gadis. Letaknya berada di sebelah utara. Bentuk bale manten berupa persegi panjang dengan bale-bale di bagian kiiri dan kanannya. Bale Manten diperuntukkan bagi anak gadis dalam keluarga sebagai bentuk perhatian. Baca juga 10 Rumah Adat Bali, Keunikan, Ciri Khas, dan Fungsi - Bale Dauh Berikutnya adalah bale dauh, yaitu ruangan yang berfungsi untuk menerima tamu. Selain itu, bale dauh juga difungsikan sebagai tempat tidur anak laki-laki dalam keluarga. Sama seperti Bale Manten, Bale Dauh juga berupa bangunan persegi panjnag. Bedanya, Bale Dauh berada di bagain dalam rumah. Posisi Bale Dauh biasanya di sebelah barat, dengan lantai yang harus lebih rendah dari Bale Manten. - Bale Sepakat Bale Sepakat berupa bangunan yang mirip dengan gazebo yang dilengkapi dengan empat tiang. Bale Sepakat biasanya digunakan sebagai ruang bersantai seluruh anggota keluarga. Dinamakan Bale Sepakat karena diharapkan seluruh anggota keluarga bisa lebih akrab dan hangat saat berkumpul di sana. - Bale Gede Bale Gede berupa bangunan persegi panjang dengan 12 buah tiang di dalamnya. Fungsi Bale Gede adalah untuk tempat digelarnya upacara adat, sehingga ruangan ini termasuk ruangan sakral. Oleh karena itu, bagian lantai Bale Gede harus lebih tinggi dari ruangan lain, termasuk Bale Manten. Selain lebih tinggi, Bale Gede juga didesain lebih luas dan besar dibanding bangunan atau ruangan lainnnya. - Pawaregen Bangunan ini berfungsi sebagai dapur dalam Rumah Adat Bali. Ukuran Pawaregen biasanya sedang, dan letaknya di sebelah barat laut atau selatan rumah tama. Di Pawaregen juga terdapat dua ruangan, yang fungsinya pertama untuk memasak dan kedua untuk menyimpan peralatan dapur. - Lumbung Berikutnya adalah Lumbung, yaitu bangunan kecil yang fungsinya sebagai lumbung atau tempat penyimpanan bahan makanan pokok. Baca juga Mengenal Rumah Adat Bali Makna Asta Kosala Kosali Angkul-angkul atau pintu masuk halaman utama pada Rumah Adat disinggung dalam pemaparan sebelumnya, masyarakat Bali memiliki pengetahuan aturan arsitektur yang disebut Asta Kosala Kosali. Secara umum, Asta Kosala Kosali merupakan ajaran yang ada pada lontar Bhagawan Siswakarma. Sejatinya ajaran Asta Kosala Kosali ini merupakan penuntun generasi muda, untuk membangun Tri Hita Karana, yaitu palemahan, pawongan, dan periangan. Dalam Rumah Adat Bali, Asta Kosala Kosali dimaknai sebagai konsep keagamaan yang dikemas dalam tata bangunan atau arsitektur. Asta Kosala Kosali diterapkan dengan menggunakan anatomi tubuh manusia, yaitu sang pemilik rumah atau tanah untuk penataan lahan tempat tinggalnya. Maksudnya pemilik rumah akan mengukur bagian-bagian rumah dengan menggunakan tubuhnya, tidak menggunakan satuan baku. Misalnya acengkang atau alengkat yang diukur dari ujung telunjuk hingga ibu jari tangan yang direntangkan, dan lain sebagainya. Baca juga Rumah Adat Jambi Kajang Lako, Fungsi, dan Keunikannya Pengukuran anatomi tubuh ini ada beberapa jenis, antara lain Amusti, yaitu ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari menghadap ke atas. Sahasta, ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewasa dari pergelangan tengah sampai ujung jari tengah yang terbuka. Atengen Depa Agung, ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang direntangkan ke kiri dan ke kanan. Agemel, ukuran keliling tangan yang dikepalkan. Aguli, ukuran ruas tengah jari telunjuk. Akacing, ukuran pangkal sampai ujung jari kelingking tangan kanan. Alek, ukuran pangkal sampai ujung jari tengah tangan kanan. Atapak batis, ukuran sepanjang telapak kaki. Atapak batis ngandang, ukuran selebar telapak kaki. Atengan depa alit, ukuran pangkal lengang, sampai ujung tangan yang dikepalkan. Auseran, ukuran pangkal ujung jari telunjuk yang ditempatkan pada suatu permukaan. Duang jeriji, ukuran lingkar dua jari, yaitu jari telunjuk dan jari tengah dirapatkan. Petang jeriji, ukuran lebar empat jari, yaitu telunjuk, jari tengah, jari manis, kelingking dirapatkan. Atampak lima, ukuran selebar telapak tangan yang dibuka dengan jari dirapatkan. Dalam Asta Kosala Kosali juga berpatokan pada Nawa Sanga atau 9 mata angin. Konsep ini yang dijadikan acuan untuk menempatkan setiap ruang dalam Rumah Adat Bali. Sumber Umat Hindu memiliki keyakinan, jika membangun rumah tidak lepas dari pustaka Asta Bumi dan Asta Kosala-Kosali. Literatur ini dijadikan pedoman dalam membangun rumah untuk menata lahan serta sebagai fengsuinya Hindu Bali. Wayan Titra Gunawijaya, mengatakan kedatangan Danghyang Nirartha pada zaman Raja Dalem Waturenggong setelah ekspidisi Gajah Mada ke Bali abad 14 ikut mewarnai khasanah arsitektur yang ditulis dalam lontar Asta Bhumi dan Asta kosalakosali. Dalam Lontar tersebut menganggap Bhagawan Wiswakarma sebagai dewa para arsitektur. Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur, sebetulnya merupakan tokoh dalam cerita Mahabharata yang dimintai bantuan oleh Krisna untuk membangun kerjaan barunya. Dalam kisah tersebut, hanya Wismakarma yang bersatu sebagai dewa kahyangan yang bisa menyulap laut menjadi sebuah kerajaan untuk Krisna. Kemudian secara turun-temurun oleh umat Hindu diangap sebagai dewa arsitektur. “Karenanya, tiap bangunan di Bali selalu disertai dengan upacara pemujaan terhadap Bhagawan Wiswakarma,” jelasnya, Jumat 24/9 siang. Upacara membangun rumah bisa dimulai dari pemilihan lokasi, membuat dasar bagunan sampai bangunan selesai. Hal ini bertujuan minta restu kepada Bhagawan Wiswakarma agar bangunan itu hidup dan memancarkan vibrasi positif bagi penghuninya. Dikatakan Titra, Lontar Asta Kosala Kosali mengupas sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci. Penataan bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya pekarangan. Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari tubuh yang mpunya rumah. Uniknya, dalam pengukuran tersebut tidak menggunakan meter. Melain menggunakan ukuran seperti Musti atau ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang posisinya menghadap ke atas. Ada pula menggunakan satuan Hasta atau ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka. Ada pula menggunakan ukuran Depa ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan “Jadi nanti besar rumahnya akan ideal sekali dengan yang mempunyai rumah. Hal tersebut juga tidak terlepas dengan konsep yang diyakini oleh kepercayaan masyarakat bali akan Buana Agung makrokosmos dan Buana Alit Mikrokosmos,” imbuhnya. Kaprodi Teologi, Jurusan Brahmawidya, STAHN Mpu Kuturan SIngaraja ini mengatakan Kosmologi Bali itu bisa digambarkan secara hirarki atau berurutan seperti Bhur, Bwah dan Swah. Konsep ini berpegang juga kepada mata angin, yang disebut dengan Dewata Nawa Sanga. Setiap bangunan itu memiliki tempat sendiri seperti misalnya dapur, karena berhubungan dengan api maka dapur ditempatkan di selatan. “Tempat sembahyang karena berhubungan dengan menyembah tuhan maka di tempatkan sebelah timur tempat matahari terbit sedangkan sumur menjadi sumber air maka ditempatkan di utara dimana gunung berada,” ungkapnya. bersambung Umat Hindu memiliki keyakinan, jika membangun rumah tidak lepas dari pustaka Asta Bumi dan Asta Kosala-Kosali. Literatur ini dijadikan pedoman dalam membangun rumah untuk menata lahan serta sebagai fengsuinya Hindu Bali. Wayan Titra Gunawijaya, mengatakan kedatangan Danghyang Nirartha pada zaman Raja Dalem Waturenggong setelah ekspidisi Gajah Mada ke Bali abad 14 ikut mewarnai khasanah arsitektur yang ditulis dalam lontar Asta Bhumi dan Asta kosalakosali. Dalam Lontar tersebut menganggap Bhagawan Wiswakarma sebagai dewa para arsitektur. Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur, sebetulnya merupakan tokoh dalam cerita Mahabharata yang dimintai bantuan oleh Krisna untuk membangun kerjaan barunya. Dalam kisah tersebut, hanya Wismakarma yang bersatu sebagai dewa kahyangan yang bisa menyulap laut menjadi sebuah kerajaan untuk Krisna. Kemudian secara turun-temurun oleh umat Hindu diangap sebagai dewa arsitektur. “Karenanya, tiap bangunan di Bali selalu disertai dengan upacara pemujaan terhadap Bhagawan Wiswakarma,” jelasnya, Jumat 24/9 siang. Upacara membangun rumah bisa dimulai dari pemilihan lokasi, membuat dasar bagunan sampai bangunan selesai. Hal ini bertujuan minta restu kepada Bhagawan Wiswakarma agar bangunan itu hidup dan memancarkan vibrasi positif bagi penghuninya. Dikatakan Titra, Lontar Asta Kosala Kosali mengupas sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci. Penataan bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya pekarangan. Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari tubuh yang mpunya rumah. Uniknya, dalam pengukuran tersebut tidak menggunakan meter. Melain menggunakan ukuran seperti Musti atau ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang posisinya menghadap ke atas. Ada pula menggunakan satuan Hasta atau ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka. Ada pula menggunakan ukuran Depa ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan “Jadi nanti besar rumahnya akan ideal sekali dengan yang mempunyai rumah. Hal tersebut juga tidak terlepas dengan konsep yang diyakini oleh kepercayaan masyarakat bali akan Buana Agung makrokosmos dan Buana Alit Mikrokosmos,” imbuhnya. Kaprodi Teologi, Jurusan Brahmawidya, STAHN Mpu Kuturan SIngaraja ini mengatakan Kosmologi Bali itu bisa digambarkan secara hirarki atau berurutan seperti Bhur, Bwah dan Swah. Konsep ini berpegang juga kepada mata angin, yang disebut dengan Dewata Nawa Sanga. Setiap bangunan itu memiliki tempat sendiri seperti misalnya dapur, karena berhubungan dengan api maka dapur ditempatkan di selatan. “Tempat sembahyang karena berhubungan dengan menyembah tuhan maka di tempatkan sebelah timur tempat matahari terbit sedangkan sumur menjadi sumber air maka ditempatkan di utara dimana gunung berada,” ungkapnya. bersambung Keunikan Bali tak hanya terletak pada wisata, seni, dan budayanya, tapi juga mencakup bidang arsitektur bangunan baik itu tempat tinggal maupun rumah adat. Ketika berkunjung ke area pemukiman, Anda tentu pernah melihat betapa memesonanya rumah-rumah khas Pulau proses pembangunan rumah khas Bali tidak sembarangan. Mereka menerapkan Asta Kosala Kosali sebagai aturan mengenai tata letak ruangan dan bangunan sesuai landasan filosofis, etis, dan ritual. Bisa dibilang ini semacam fengshui versi dalam Asta Kosala Kosali juga menjadi pedoman bagi undagi, sebutan bagi arsitek tradisional Bali yang tidak hanya mumpuni dalam ilmu rancang bangun, tapi juga memahami seni, budaya, adat, dan apa aturan Asta Kosala Kosali diterapkan dalam pembangunan rumah di Bali?Pada dasarnya Asta Kosala Kosali adalah konsep tata ruang tradisional Bali berdasarkan konsep keseimbangan kosmologis Tri Hita Karana, hierarki tata nilai Tri Angga, orientasi kosmologis Sanga Mandala, ruang terbuka natah, proporsional dengan skala, kronologis dan prosesi pembangunan, kejujuran struktur, dan kejujuran pemakaian dari aturan ini adalah penataan bangunan bukan diukur berdasarkan ukuran tubuh pemilik rumah seperti berikutAcengkang diukur dari ujung telunjuk sampai ujung ibu jari tangan yang diukur keliling tangan yang diukur ruas tengah jari diukur pangkal sampai ujung jari kelingking tangan diukur pangkal sampai ujung jari tengah tangan diukur ujung ibu jari sampai pangkal telapak tangan yang batis diukur sepanjang telapak batis ngandang diukur selebar telapak Depa Agung diukur dari pangkal lengan sampai ujung jari tangan yang Depa Alit diukur dari pangkal lengan sampai ujung tangan yang diukur dari pangkal ujung jari telunjuk yang ditempatkan pada suatu jeriji diukur lingkar dua jari jari telunjuk dan jari tengah yang dirapatkanPetang jeriji diukur lebar empat jari telunjuk, jari tengah, jari manis, kelingking yang diukur dari siku sampai pangkal telapak tangan yang lima diukur selebar telapak tangan yang dibuka dengan jari Kosala Kosali juga berisi pengetahuan tentang ajaran hakikat bagi seorang undagi, kewajiban yang harus dipatuhi undagi, dewa pujaan seorang undagi Bhatara Wiswakarma, ukuran-ukuran yang digunakan, dan menjadi pedoman undagi dalam bekerja untuk merancang bangunan, teknik pemasangan bahan bangunan, tata cara mengukur luas bangunan, jenis-jenis bangunan tradisional Bali, sesajen yang digunakan pada saat upacara bangunan, dan mantra-mantra mengikuti aturan tersebut, maka bangunan tersebut dipercaya akan memberikan keseimbangan kehidupan bagi penghuni rumah dengan lingkungan di sekitar pekarangan."Asta Kosala Kosali ini kita diajarkan berkaitan dengan bagaimana membangun itu dapat mencapai keharmonisan dan keseimbangan yang meliputi alam bawah, alam tengah, dan alam atas. Singkatnya, ini adalah pedoman membangun mencapai keharmonisan dan keseimbangan antara alam, manusia, dan Tuhan," ujar I Nyoman Nuri Arthana, Dosen Arsitektur Universitas Warmadewa, seperti dikutip Ida Pandita Dukuh Samyaga, perkembangan arsitektur bangunan di Bali tak lepas dari peran tokoh sejarah Bali Aga dan zaman Majapahit. Tokoh Kebo Iwa dan Mpu Kuturan yang hidup pada abad ke-11 atau pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu banyak mewarisi landasan pembangunan arsitektur dalam lontar Asta Bhumi dan Asta Kosala Kosali yang menganggap Bhagawan Wiswakarma sebagai dewa para arsitektur, Danghyang Nirartha yang hidup pada zaman Raja Dalem Waturenggong setelah ekspedisi Gajah Mada ke Bali abad ke-14 juga turut mewarnai kekayaan arsitektur Gunung Kawi, Situs Purbakala Peninggalan Dinasti Udayana di BaliBagaimana Asta Kosala Kosali bekerja?Cara kerja Asta Kosala Kosali bisa dibilang benar-benar detail dan mengikat. Aturannya bahkan berlaku pada pemilihan tanah, penataan sesuai kondisi, tata letak, hingga pintu memilih tanah untuk bangunan diusahakan yang miring ke timur atau utara, pelemahan datar asah, pelemahan inang, dan pelemahan marubu lalah berbau pedas. Adapun tanah yang harus dihindari sebagai lokasi membangun rumah yaitu tumbak rurung atau jalan, pintu keluar berpapasan dengan persimpangan jalan, karang yang dilingkari lorong, karang diapit lorong, karang di hulu Kahyangan, dua pintu masuk berdampingan sama tnggi, dan tanah hitam legam juga berbau yang dianggap tidak baik itu tetap bisa dibangun rumah tetapi harus diadakan upacara agama dan dibuatkan palinggih yang dilengkapi upacara energi di rumah lebih positif, biasanya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Misalnya bangunan yang terletak di timur lantainya lebih tinggi karena menurut masyarakat Bali, bagian timur dianggap sebagai hulu yang disucikan. Selain itu, dapur berada di arah barat yang sesuai dengan letak Dewa Api, dan sumur atau lumbung padi di timur atau utara dapur karena melihat posisi Dewa pintu masuk juga penting untuk menangkap Dewa Air sebagai sumber rejeki . Jika pintu masuk lebih dari satu, lebar dan tinggi pintu masuk utama, pintu lain, dan tinggi lantai pun tidak boleh sama. Lantai pintu masuk utama yang berbentuk gapura atau angkul-angkul harus lebih tinggi dari pintu masuk mobil menuju garasi. Jika dibuat sama maka efeknya akan kurang menguntungkan bagi penghuni rumah karena dipercaya akan berita, artikel, dan konten yang lain di Google News Jakarta - Bali memang unik dan menarik. Bali bukan hanya kaya budaya dan seni, tapi juga di bidang perumahan dan arsitektur terutama rumah adat. Selain berfungsi selain sebagai tempat tinggal, warga Bali membangun rumah adat mereka dengan aturan yang disebut Asta Kosala Kosali, yakni aturan tata letak ruangan dan bangunan layaknya fengshui dalam budaya Cina. Seperti halnya fengshui, Asta Kosala Kosali juga mengatur tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk rumah tinggal atau tempat beribadah yang didasarkan pada Sembilan Penguasa Nawa Sanga di setiap penjuru mata angin dengan Dewa Siwa sebagai titik pusatnya. Bila kita menengok ke dalamnya, pada umumnya arsitektur rumah tradisional Bali ini selalu dipenuhi hiasan seperti patung. Warga Bali memproduksi sendiri berbagai perlengkapan yang juga digunakan untuk ritual keagamaan mereka. Pacar Leonardo DiCaprio Kenakan Gaun Pengantin di Karpet Merah Oscar 2020 Nikmati Keindahan Pulo Cinta Gorontalo, Warna Baju Marshanda Jadi Sorotan Cita Rasa Mi Ayam Tumini, Sajian Legendaris di Yogyakarta Selain itu, konsep tata ruang Asta Kosala Kosali ini dilandasi oleh delapan hal, yakni keseimbangan kosmos antara manusia, alam dan sang pencipta, hierarki tata nilai, arah mata angin, ruang terbuka, proporsi dan skala ruang, kronologis dan prosesi pembangunan, kejujuran struktur dan kejujuran dalam menggunakan material. "Asta Kosala Kosali ini kita diajarkan berkaitan dengan bagaimana membangun itu dapat mencapai keharmonisan dan keseimbangan yang meliputi alam bawah, alam tengah, dan alam atas. Singkatnya, ini adalah pedoman membangun mencapai keharmonisan dan keseimbangan antara alam, manusia, dan Tuhan," ucap I Nyoman Nuri Arthana, sebagai Dosen Arsitektur Universitas Warmadewa, dalam seminar virtual Arsitektur Bali - Tradisi dan Kekinian, Kamis, 18 Februari 2021. Uniknya, dimensi pengukuran rumah tidak menggunakan meteran, melainkan aturan-aturan anatomi tubuh seperti tangan, jari, lengan, dan kaki dari pemilik rumah. Lalu dibantu sang undagi sebagai pedande atau orang suci yang mempunyai wewenang membantu pembangunan rumah atau pura, sehingga dipercaya akan menciptakan ruang yang proporsional dan ikatan antara pemilik dan bangunan rumah. Nuri menambahkan, bahwa meletakkan bangunan itu adalah untuk mencapai kenyamanan dan keamanan. Arsitektur Bali punya karakteristik yang khas menggunakan budaya kuno dan kesenian pada setiap elemen desain arsitekturnya. Selain itu, desain ini sangat dipengaruhi kentalnya tradisi Hindu Bali, dan sentuhan unsur Jawa kuno. "Tanah menurut tradisi Asta Kosala Kosali yang cocok dipilih untuk lokasi membangun perumahan diusahakan tanah yang miring ke timur atau miring ke utara," kata Nuri. Saksikan Video Pilihan di Bawah IniPuja Mandala pusat peribadatan ini dibangun 1994 di Nusa Dua,Bali. di tempat ini lima tempat ibadah berdiri kokoh karena umatnya menjunjung tinggi toleransi beragama.

asta kosala kosali pintu rumah